Oleh Rosdiana Setyaningrum Psikolog
Pernah melihat atau mengalami, saat anak Anda berusia di bawah 5 tahun
sedang mengamuk? Ia menangis, berteriak, menghentak-hentakkan kaki,
sampai ada yang memukul orang lain atau membenturkan kepalanya ke
lantai. Tingkah laku seperti itu dikenal dengan istilah temper tantrum.
Temper tantrum merupakan ledakan emosi yang ditandai dengan ekspresi
marah, menangis, berteriak dengan nada tinggi atau kata-kata yang kasar
dan menjadi keras kepala. Saat tantrum, sang anak bisa kehilangan
kontrol fisiknya sehingga tak bisa diam dan menolak ditenangkan, bahkan
ia belum bisa tenang walaupun keinginannya telah terpenuhi. Setiap anak
pernah mengalami fase ini, namun tingkatnya yang berbeda-beda.
Mengapa 2 Tahun?
Temper tantrum dimulai saat anak berusia 2 tahun. Oleh karena itu, usia
ini tahun disebut sebagai “Terrible Two”. Gejala tantrum berkembang
karena beberapa hal.
Pertama, anak sedang dalam tahap kemandirian. Ia ingin melakukan segala
sesuatu tentunya dengan caranya sendiri, sehingga ia tidak senang kalau
harus banyak diatur oleh orang lain.
Di usia 2 tahun juga mulai berkembangnya otak emosi anak. Bila
sebelumnya bayi berpikir ‘hanya’ dengan otak refleksnya, sekarang
kemampuannya meningkat. Ia mulai ‘berpikir’ menggunakan otak emosinya.
Pada usia inilah anak dapat merasakan bermacam emosi, seperti senang,
marah, kesal, bingung, dan lainnya.
Di sisi lain, kemampuan bicaranya belum berkembang optimal. Di tahap
usia ini, ia baru saja bisa berbicara atau hanya bisa mengucapkan
sekitar 50 kata. Jadi bisa dibayangkan, saat ia tak dapat mengungkapkan
perasaannya yang campur aduk, akhirnya ia merasa frustasi dan
melampiaskannya dengan tantrum.
Apakah temper tantrum akan berlanjut ke usia 3-5 tahun? Tergantung cara
penanganan orang tuanya. Biasanya, yang banyak terjadi adalah orang tua
justru mendukung tantrum si anak. Alasannya tak tega karena ia menangis
atau tak mau pusing mendengar tangisannya yang melengking. Bisa juga
karena malu dilihat banyak orang kalau terjadi di tengah keramaian.
Akhirnya, tiap kali anak mengalami tantrum, kita memberikan apa yang ia
inginkan. Kita lupa bahwa anak adalah pembelajar yang baik. Dengan cepat
ia mempelajari cara yang mungkin digunakan untuk mendapatkan
keinginannya. Bila dengan cara menangis, apalagi ditambah berteriak,
orang tuanya akan menuruti keinginannya, alhasil tantrum digunakan
sebagai senjata andalannya.
Bagaimana Mengatasinya?
Seandainya gejala tantrum baru terlihat, ingatlah bahwa tiap anak pasti
melakukannya, jadi diamkan saja. Mendiamkan adalah cara paling manjur
untuk menghadapi temper tantrum.
Saat melakukan tantrum, anak berharap supaya kita memberikan apa yang ia
inginkan. Bila dengan cara yang dilakukan ternyata tak berhasil
mendapatkan keinginannya, tentu ia akan berhenti melakukannya. Setelah
ia tenang, katakan dengan halus bahwa cara itu tidak kita sukai dan
tunjukkan cara lain yang tepat. Jelaskan pula mengapa kita tak bisa
memberikan apa yang ia minta. Lakukanlah dengan konsisten sampai
kebiasaan buruk itu hilang. Namun ada saat ketika kita tidak
menghiraukan tangisannya, bukannya malah diam, ia justru meningkatkan
level tantrumnya.
Namun ada saat ketika kita tidak menghiraukan tangisannya, bukannya
malah diam, ia justru meningkatkan level tantrumnya. Misalnya dari hanya
tangisan ditambah teriakan, bahkan sampai memukul dan menyakiti dirinya
sendiri. Inilah kondisi paling menantang yang seringkali membuat orang
tua akhirnya mengalah dan memenuhi keinginannya.
Lain halnya kalau tantrum telah menjadi kebiasaan yang berarti
membutuhkan waktu pemulihan lebih lama. Serta menuntut keteguhan hati
orang tuanya karena cara mengatasinya masih tetap sama, yakni
mendiamkan. Namun tetap dijaga agar tak melukai diri sendiri atau orang
lain. Lakukanlah dengan konsisten dan bersabarlah menghadapi perlawanan
dari anak.
Salah satu cara agar tetap konsisten berkata tidak pada anak yang
tantrum, kita bisa bayangkan hal ini: Kalau masih kecil saja ia sudah
berteriak-teriak hanya untuk minta mainan, apa yang akan ia lakukan
kelak kalau sudah dewasa? Banyak orang dewasa melakukan hal kurang bijak
karena memang terbiasa sejak kecil. Ingatlah bahwa apa yang kita
ajarkan pada anak saat ini akan terbawa sampai ia tumbuh dewasa nanti.
Berdasarkan penelitian, anak yang terbiasa menahan keinginan akan tumbuh
menjadi orang yang bertingkah laku lebih baik dan lebih bahagia.
Sebagai orangtua, apa lagi yang kita harapkan selain melihat anak kita
bahagia? Article Futuready.com
Tiada ulasan:
Catat Ulasan