Amar dan Kundan Singh Pundir adalah adik beradik kandung. Amar bekerja sebagai pemecah batu, sedangkan Kundan, abangnya bekerja sebagi petani iaitu pekerjaan warisan orangtua mereka di Himachal Pradesh, India.
Mereka yang berusia dalam 40-an tinggal bersama. Mereka berkongsi apa saja, rumah, pekerjaan, bahkan berkongsi isteri. "Sudah menjadi tradisi kami sejak awal untuk memiliki keluarga dari lima atau 10 orang. Dua bersaudara dengan satu istri," kata Kundan.
Amalan seperti ini disebut fraternal polyandry, adik beradik dari satu keluarga berkahwin dengan perempuan yang sama. Biasanya, pernikahan seperti ini bermotif tradisi dan ekonomi.Bagi kebanyakan orang, cara seperti ini memang salah, namun tidak bagi dua ratus orang yang tinggal di desa tersebut. Kebanyakkan mereka mengamalkan tradisi ini termasuklah Kundan dan Amar.
Kampung ini terletak di sebuah bukit setinggi hampir 180 meter. Sebahagian besar penduduknya hidup bercucuk tanam. Di wilayah yang terpencil dan sempit ini membuat mereka sukar untuk keluar apalagi untuk mencari isteri dan membahagikan harta.
Jadi, daripada mencari isteri dan membahagikan harta warisanlebih baik mereka menikah dengan perempuan yang sama. Dengan begitu, tanah warisan tidak terbahagi-bahagi lagi.
Indira Devi, mengaku hidup dengan dua suami bukan perkara mudah. "Kami sering bertengkar," katanya. Sama seperti keluarga lain, pertengkaran mereka biasanya kerana masalah hidup. "Biasanya memang masalah sehari-hari, seperti mengapa kamu tidak melakukan ini atau itu," katanya.
Hal yang membuat mereka selalu bersetuju bersama adalah punya anak. Dengan Kundan dan Amar, Indira memiliki tiga anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Bagaimana dengan kehidupan seks mereka? "Kami membuat shift, bergilir setiap malam. Kalau tidak begitu, tak akan berjalan baik," kata Kundan.
"Agar kehidupan berkeluarga berjalan dengan baik, kami harus melakukannya.Kami boleh melakukan dengan baik supaya tidak ada yang berkecil hati"ujar Amar
Ketika ditanya ayah kandung setiap anak, Amar dan Kundan mengaku tidak tahu. Anak-anak mereka pun tidak peduli. "Sama saja kerana ibu dan ayah adalah dewa bagi saya," kata Sunita Singh Pundir, 17, anak perempuan keluarga itu.
Anak pertama dan ketiga Pundir yang lelaki ingin meneruskan tradisi tersebut. "Tentu saja," kata Sonha, anak tertua. Dia dan adik lelakinya mengatakan sudah membicarakan itu dan akan segera menikah dengan perempuan yang sama. Namun tidak demikian dengan Sunita. Dia menegaskan tak ingin meneruskan tradisi itu. "Saya ingin punya satu suami saja," sahutnya.
Hanya, ketika dihadapkan pada cinta dan tradisi, Sunita mengaku memilih tradisi. "Saya tak akan pernah meninggalkan tradisi meski harus mengabaikan cinta. Saya tak akan merendahkan martabat orangtua dan saudara lelaki saya," lanjut Sunita.
Biasanya, pernikahan seperti itu sudah diatur dan rata-rata para perempuan di desa itu juga memiliki dua suami. Bahkan ada yang punya tiga atau empat suami, bergantung pada jumlah adik beradik yang dimiliki keluarga suami mereka.
Fraternal polyandry sebenarnya tindakan yang melanggar hukum di India, walupun secara sosial dapat diterima bagi sebahagian masyarakat di sana. Tak ada satupun pejabat pemerintah yang terganggu dengan para penduduk yang melanggar hukum itu. "Sudah terjadi sejak lama. Saudari tiri saya juga punya dua suami, begitu juga dengan ibu tiri saya," kata Indira.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan